People Power di Hong Kong dan Penyebab Dibaliknya
People Power di Hong Kong dan Penyebab Dibaliknya

People Power di Hong Kong dan Penyebab Dibaliknya

Jakarta (HIMAHI UNAS) – Pada tanggal 27/09/19, HIMAHI Universitas Nasional kembali mengadakan kegiatan diskusi dengan tema “People Power di Hong Kong Terkait dengan RUU Ekstradisi antara China dan Hong Kong”. Kegiatan diskusi ini merupakan salah satu bagian dari program kerja HIMAHI secara khusus dari divisi studi periode 2019/2020. Salah satu dosen Hubungan Internasional Universitas Nasional, Hendra Maujana Saragih, S.IP., M.Si., hadir sebagai pemateri dalam diskusi ini.

Diketahui bahwa pemerintah Hong Kong saat ini sedang menghadapi protes besar – besaran dari masyarakatnya. Protes tersebut berawal dari bulan Juni 2019 yang dipicu oleh RUU yang memungkinkan adanya ekstradisi ke daratan Cina. Diketahui bahwa Rancangan undang-undang tersebut mengemuka setelah seorang pria Hong Kong berusia 19 tahun diduga membunuh pacarnya yang berusia 20 tahun saat mereka berlibur di Taiwan bersama pada Februari tahun lalu. Pria itu melarikan diri dari Taiwan dan kembali ke Hong Kong tahun lalu.

Kemudian para pejabat Taiwan telah meminta bantuan dari otoritas Hong Kong untuk mengekstradisi pria itu, tetapi para pejabat Hong Kong mengatakan mereka tidak dapat mematuhinya karena kurangnya perjanjian ekstradisi dengan Taiwan. RUU tersebut akan memungkinkan pihak berwenang di China daratan, Taiwan, dan Makau mengekstradisi tersangka yang dituduh melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan pemerkosaan. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang diadakannya diskusi kali ini.

Dalam diskusi kali ini, diulasa kembali sejarah antara China dan Hong Kong. Pada tahun 1842 perang candu terjadi di China antara Inggris dan China. Perang tersebut dimenangkan oleh Inggris sehingga Inggris berhasil merebut pulau Hong Kong dari China, setelah mengalahkan Cina dalam Perang Candu Pertama. Setelah Perang Candu Kedua, Beijing dipaksa menyerahkan Kowloon, kawasan di seberang Hong Kong, pada 1860. Tahun 1898, untuk menguatkan kontrol di kawasan, Inggris menyewa lahan yang sebagian besar berada di sisi utara yang dikenal sebagai New Territories dengan janji akan mengembalikannya kembali ke Cina dalam 99 tahun.

Hong Kong kemudian berkembang dengan sangat cepat di bawah kekuasaan Inggris dengan menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dan keuangan dunia. Pada 1 Juli 1997 Hong Kong di serahkan dari Inggris ke China. Menurut Bapak Hendra sebagai pemateri,  itulah hal yang menjadi titik awal terjadinya demonstrasi di Hong Kong saat ini. Setelah diserahkannya Hong Kong ke China, masyarakat Hong Kong berpikir bahwa segala bentuk kehidupannya akan selalu di pantau oleh China karena China menganut sistem komunis sedangkan Hong Kong selama 100 tahun kehidupannya sangat liberal tidak di perhatikan secara private, sehingga hampir setengah masyarakat Hong Kong tidak menyukai ketika Inggris menyerah Hong Kong ke China.

Kemudian, tahun 2047 akan menjadi titik penting karena diketahui setelah tahun  2019, China tak lagi berkewajiban untuk memberikan otonomi luas ke Hong Kong, seperti yang disepakati dengan Inggris sebelum penyerahan dilakukan. Hal ini kemudian berujung pada munculnya seruan agar Hong Kong merdeka, namun pemerintah di Beijing sudah menutup opsi tersebut. Pada September 2014 terjadi revolusi payung, yang merupakan aksi protes sebagian warga Hong Kong yang menentang kebijakan pemerintah terkait pemilihan kepala daerah, semua masyarakat Hong Kong yang melakukan demonstrasi memakai payung untuk mengatakan bahwa masyarakat Hong Kong menginginkan pemilihan umum yang sepenuhnya bebas untuk memilih pemimpin Kota Hong Kong pada 2017, namun Beijing bersikeras hanya akan mengizinkan pemilihan umum bebas bagi kandidat yang telah diseleksi sebelumnya.

Menurut pak Hendra ada beberapa dampak yang akan terjadi apabila China bersikukuh untuk menjadikan Hong Kong benar benar berkiblat satu pada China, yaitu yang pertama opsi untuk merdeka sudah tertutup dan tidak pernah akan bisa lagi, yang kedua adalah referendum, referendum sangat di hindari oleh China tetapi bisa saja Hong Kong ingin melakukan referendum tetapi 1200 wakil mereka di ekskutif setengahnya terdaftar pro Beijing sehingga jika ingin referendum, Hong Kong dipastikan tidak akan menang.

Organisasi-organisasi internasional seperti PBB dan Uni Eropa pun tidak dapat membantu Hong Kong dalam kasus ini dikarenakan masalah tersebut merupakan masalah dalam negeri yang terjadi antara China dan Hong Kong. Namun,  jika ingin memberikan pendapat akan diperbolehkan, seperti halnya Australia yang berpendapat supaya Hong Kong memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk berpendapat.

Pada akhir diskusinya, pemateri memberikan beberapa analisanya mengenai masa depan Hong Kong setelah menjadi bagian China secara penuh pada tahun 2047, diantaranya adalah hak-hak nya sebagai provinsi yang selama ini hidup dengan khusus itu akan dikurangi atau dikekang, Hong Kong akan menjadi provinsi biasa seperti provinsi di China lainnya. Kemudian tdak ada lagi paspor Hong Kong karena semuanya akan disatukan menjadi China. Selanjutnya, akan ada pergolakan politik setelah tahun 2047, dimana akan ada kelas-kelas menengah keatas akan berupaya mengkampanyekan sebuah tindakan save Hong Kong from China kepada dunia internasional karena hal tersebut akan mempengaruhi dunia internasional yang lebih nyaman melakukan kerjasama ekonomi dengan Hong Kong dibanding dengan China.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *